Jazulijuwaini.com–Hari Raya Idul Fitri yang di Indonesia lebih dikenal dengan tradisi Lebaran selalu menghadirkan semarak kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bukan saja bagi kaum muslimin yang memang merayakannya, melainkan juga bagi umat-umat lainnya. Cuti bersama, halalbihalal, maaf-memaafkan, saling anjangsana, dan tradisi mudik Lebaran hanya sebagian kecil ”hikmah” dan ”nikmat” Lebaran yang dirasakan oleh seluruh umat.
Lebih dari itu, momentum Lebaran dapat dimaknai menjadi perekat kebangsaan di antara warga bangsa Indonesia. Tentu, memaknai Lebaran dalam spirit kebangsaan harus dibaca dalam satu tarikan napas dengan ibadah Ramadan. Lebaran atau Idul Fitri adalah puncak pencapaian ibadah Ramadan bagi kaum muslimin.
Setelah sebulan penuh ditempa dengan berbagai ujian dalam sekolah (madrasah) Ramadan, Lebaran adalah hari kelulusan sekaligus awal untuk menapaki jalan kehidupan yang lebih baik termasuk dalamdimensikebangsaan. Kualitas lulusan Ramadan tentu saja tidak hanya dilihat dari peningkatan kapasitas pribadi dalam hubungannya denganAllah(hablum minallah), tetapi juga dalam relasi kebermanfaatan seseorang terhadap masyarakat dan bangsanya (hablum minannas).
Religusitas Lebaran
Lebaran secara maknawi merupakan hari yang membahagiakan karena umat Islam telah mampu melewati ”ujian” melawan (dan mengalahkan) hawa nafsu selama satu bulan penuh di bulan Ramadan. Selama Ramadan, kita diwajibkan berpuasa, menahan diri dari makan dan minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa.
Termasuk mengendalikan hawa nafsu untuk tunduk dan fokus beribadah dan beramal saleh. Makan-minum adalah kebutuhan dasar manusia. Berdasarkan Teori Tingkat Kebutuhan Abraham Maslow, makanminum merupakan kebutuhan fisiologis yang berada pada level pertama atau paling dasar dari hierarki kebutuhan manusia.
Manusia belum akan beranjak pada tingkat kebutuhan di atasnya sebelum kebutuhan dasar ini terpenuhi. Ini artinya puasa mengajarkan umat Islam untuk mampu berkorban menahan nafsu atas kebutuhan bahkan pada level paling dasar. Dengan kemampuan tersebut, kita dapat membayangkan betapa seharusnya umat Islam mampu berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, kepentingan sesama manusia, dan kepentingan sesama warga bangsa.
Oleh karena itu, para ulama dan pemikir Islam mengemukakan bahwa salah satu hikmah syariat puasa adalah kehendak untuk menghadirkan atau menumbuhkan kebersamaan, kepedulian, dan solidaritas sosial. Mengapa? Karena melalui ”pengorbanan puasa” kita jadi merasakan (empati) kepada saudara- saudara kita yang papa dan tidak berada, kepada fakir miskin yang sulit memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan dan sandang).
Darinya lalu menggerakkan kepedulian sosial kita: menginfakkan sebagian harta untuk meringankan beban dan memenuhi kebutuhan mereka. Lebaran adalah puncaknya! Puncak kesadaran umat Islam untuk menghadirkan kebahagiaan bagi sesama warga bangsa. Kesadaran yang dibangun di atas pengorbanan dan ujian untuk menahan nafsu, sebaliknya meninggikan akal budi untuk berkontribusi bagi sesama.
Dengan narasi tersebut, Lebaran merupakan momentum bagi ”alumni Ramadan” untuk menjadi pribadi baru yang mampu mengekang ego dan nafsu lalu memenangkan kepedulian, solidaritas, dan kontribusi. Maka itu, tepatlah risalah Ramadan ini ditutup dengan kewajiban menunaikan zakat fitrah bagi setiap individu muslim sebagai bentuk implementasi kepekaan dan kepedulian sosial kepada sesama, sekaligus untuk menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah puasa kita.
Selain zakat fitrah, juga ada zakat maal yang tidak harus dikeluarkan di bulan Ramadan, tapi sebagian orang memanfaatkan momentum Ramadan untuk mengeluarkan zakat harta ini. Dus , lengkaplah kebahagiaan Lebaran dengan semarak berkumpul bersama, saling memaafkan, saling mengasihi, dan saling berbagi.
Lebaran dalam Bingkai Kebangsaan
Ramadan ibarat sekolah religi yang diciptakan Allah untuk mengasah pengendalian diri atas nafsu yang cenderung pada keburukan dan mengarahkannya pada kebaikan (sensitivitas, kepedulian, dan solidaritas kepada sesama warga bangsa). Seluruh proses sekolah Ramadan tersebut ditutup dengan Lebaran.
Dalam perspektif sosiologis, Ramadan dan Lebaran sejatinya mencerminkan karakter kebangsaan kita (Pancasila) dari sila pertama hingga kelima. Pertama, sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai keberagamaan (ibadah) tentu saja semarak Lebaran (dan Ramadan) adalah bentuk komitmen atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Religusitas Lebaran menunjukkan bahwa kebangsaan kita adalah kebangsaan yang berketuhanan. Kedua, Lebaran sebagai pemuncak Ramadan mengembalikan kesucian (fitrah) seorang muslim mengandung pesan kemanusiaan yang mendalam, yakni sebagai manusia kita harus merevitalisasi dan menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, sembari mengekang nafsu buas ”memangsa” manusia lainnya (perilaku tidak adil dan tidak beradab terhadap sesama manusia).
Ketiga, Lebaran (dan Ramadan) jelasmengandungspiritpersatuan Indonesia. Kegembiraan, kebersamaan, saling memaafkan dan mengasihi adalah dasar-dasar persatuan dan ikatan kebangsaan kita (national bonding). Hal ini sekaligus mengantarkan kita pada semangat keempat, yakni spirit kolektivisme dan itu hanya bisa dicapai melalui musyawarah yang mengedepankan pencapaian tujuan bersama ketimbang ego/kepentingan pribadi (individualis).
Ekspresi umat dalam mengisi Lebaran jelas menggambarkan kebersamaan itu. Terakhir, di atas semua itu, Lebaran (dan Ramadan) mengaktualisasikan hakikat keadilan sosial melalui spirit berbagi, berinfak, sedekah, dan berzakat; agar harta yang dimiliki oleh setiap orang (juga) terdistribusi kepada sesama warga bangsa yang kekurangan dan membutuhkan uluran tangan.
Betapa dahsyatnya jika nilainilai Ramadan dan Lebaran tersebut tetap terjaga dalam denyut kebangsaan kita. Niscaya kita akan menjadi bangsa yang kuat dan berkarakter. (Dimuat di Rubrik Opini, Koran Seputar Indonesia, 9 Juni 2016)