Jazulijuwaini.com–Tentara Nasional Indonesia (TNI) baru saja merayakan Hari Ulang Tahun yang ke-72. Seluruh rakyat Indonesia tentu berharap TNI semakin kuat dalam mempertahankan kedaulatan negara. Untuk itu, TNI dituntut memiliki kemampuan profesionalisme yang handal dalam mendefinisikan dan menghadapi setiap ancaman yang mengganggu keamanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat yang sama negara dituntut untuk memberikan daya dukung yang memadai ( minimum essential force ) guna menunjang tugas pokok TNI tersebut
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI ditempatkan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan menjadi komponen utama sistem pertahanan negara. Dalam posisi peran tersebut, fungsi TNI dijelaskan secara terperinci sebagai (1) penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; (2) penindak terhadap setiap bentuk ancaman; dan (3) pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Tugas pokok tersebut dilakukan dengan dua jenis operasi militer yaitu operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Ada 14 item operasi militer selain perang, diantaranya mengatasi gerakan sparatis, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan dan objek vital nasional strategis, dan lain-lain.
Sejalan dengan semangat reformasi TNI, keseluruhan tugas di atas harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Reformasi TNI menegaskan satu prinsip bahwa TNI (dan Polri) tidak boleh berpolitik praktis dan tunduk pada kekuasaan atau otoritas sipil negara guna melaksanakan keputusan politik negara.
Ke depan TNI sebagai kekuatan pertahanan negara menghadapi tantangan dan ancaman keamanan yang terus berkembang–bahkan baru sama sekali–yang membutuhkan kebijakan dan strategi kesiapsiagaan yang tepat.
Tipologi (Baru) Ancaman Negara
Seiring dengan perkembangan global definisi ancaman nasional telah bergeser dari ancaman tradisional (militer) kepada ancaman non tradisional (non militer)–meskipun ancaman militer tidak benar-benar (tidak akan pernah) hilang. Pergeseran ini to some extend dipahami dengan baik oleh panglima TNI beserta jajarannya.
Setidaknya hal itu ditunjukkan dalam berbagai materi yang dipersentasikan oleh Panglima maupun jajaran TNI, baik dalam forum resmi (RDP Komisi I), maupun dalam forum-forum diskusi publik ketika menjelaskan potensi bangsa berikut ancamannya di masa kini.
Berulang kali Panglima TNI, misalnya, menjelaskan bahwa perang masa kini didominasi oleh perang tidak langsung yang dimainkan oleh kekuatan-kekuatan besar di luar negara untuk mendapatkan keuntungan dan/atau melemahkan negara tersebut atau yang lebih dikenal dengan istilah “perang proxy”. Di samping itu, negara juga menghadapi apa yang disebut “perang cyber” yaitu pelemahan keamanan negara melalui akses terbuka–baik yang diperoleh secara legal atau ilegal–data-data negara dan warganya melalui jejaring ICT.
Khusus Indonesia sebagai negara yang terletak di wilayah equator memiliki potensi ekonomi yang sangat besar ditinjau dari sumber daya alam, mineral dan gas. Sejatinya semua prasyarat kebesaran/kejayaan suatu negara ada di negara ini. Hal ini bisa menjadi berkah jika kita mampu mengelolanya, namun sekaligus sumber konflik jika kita lengah lalu pihak-pihak asing mengambil keuntungan dan menghendaki Indonesia tidak menjadi negara besar.
Menghadapi tipologi (karakteristik) perang yang demikian dibutuhkan kemampuan pertahanan yang sesuai, yang didukung kualitas (kompetensi dan kapabilitas) prajurit serta daya dukung peralatannya. Pun, tipologi perang baru ini juga tidak bisa diselesaikan atau dihadapi oleh pasukan TNI an-sich, akan tetapi membutuhkan partisipasi dan/atau pelibatan seluruh elemen bangsa serta rakyat Indonesia. Dalam konteks ini doktrin kemanunggalan TNI dengan rakyat semakin relevan bahkan kontekstual.
Realitas tersebut tentu saja membutuhkan kebijakan dan strategi pertahanan yang dinamis. Otoritas kebijakan pertahanan (dalam hal ini Menteri Pertahanan dan Panglima TNI) dituntut untuk mampu mendayagunakan seluruh potensi bangsa dan negara untuk menghadapi ancaman aktual tersebut secara efektif dan efisien.
Kebutuhan Minimal Persenjataan
Dewasa ini TNI dihadapkan pada kondisi persenjataan (alutsista) yang belum ideal. Tentu kita semua berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan alutsista yang ideal, bukan hanya dalam soal kapasitas dan jumlahnya, akan tetapi kesesuaiannya dengan tipologi dan karakteristik ancaman terhadap keamanan dan pertahanan negara sebagaimana telah diulas.
Betapapun anggaran negara belum mampu untuk memenuhi kebutuhan minimal TNI, kita tetap harus menempatkannya sebagai prioritas utama dalam membangun TNI ke depan, karena tidak ada negara yang kuat kecuali didukung dengan sistem pertahanan dan persenjataan yang memadai untuk menjaga kedaulatan negara tersebut.
Pemenuhan kebutuhan alutsista dan peningkatan kompetensi prajurit TNI disesuaikan dengan tipologi ancaman menjadi tantangan tersendiri bagi TNI ke depan. Panglima TNI dituntut untuk mempersiapkan, mengembangkan, dan meningkatkan kemampuan prajurit sesuai kebutuhan akan ancaman. Bagaimana misalnya TNI merumuskan kemampuan atau kapabilitas prajurit menghadapi “perang proxy” dan “perang cyber”. Apa sistem persenjataan dan pertahanan yang perlu disiapkan dan dikembangkan untuk menghadapi jenis perang yang seperti itu.
Tak kalah penting adalah bagaimana TNI mendayagunakan seluruh potensi bangsa (rakyat Indonesia) untuk menghadapi tipologi ancaman baru itu. Tentang bagaimana membangun kesadaran dan pemahaman yang sama terhadap tipologi ancaman aktual dan bagaiman memiliki sikap dan respon yang tepat menghadapi ancaman tersebut.
Dalam konteks ini penulis dapat memahami, bahkan mendukung dan mengapresiasi langkah-langkah Panglima TNI untuk menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap ancaman “perang proxy” dan “perang cyber”. Panglima acapkali mengingatkan bahwa konflik horizontal yang terjadi diantara elemen masyarakat harus diwaspadai sebagai strategi “perang proxy” yang dilakukan oleh pihak-pihak lain (di luar negara) dan para komprador-nya yang tidak ingin bangsa ini menjadi besar. Untuk itu jangan mau diadu domba atau jatuh dalam konflik dengan sesama anak bangsa.
Apa yang kerap diserukan atau diingatkan oleh Panglima TNI tersebut layak kita respon dengan serius. TNI tentu mendambakan kemanunggalan dengan rakyat, karena disana lah kunci kekuatannya dalam mempertahankan kedaulatan republik. Akhirnya kita ucapkan Dirgahayu TNI ke-72. Semoga semakin kuat dan jaya, Indonesia makin hebat dan bermartabat! (Dimuat di Harian Koran Sindo, 9 Oktober 2017)