Ketua Panja RUU JPH, Jazuli Juwaini, mengungkapkan ada dua opsi pemberlakuan sertifikasi halal. Pertama, bersifat sukarela atau voluntary. Kedua, bersifat wajib atau mandatory.
“DPR mengarah dan menginginkan sifatnya wajib. Tapi pemerintah malah mau nya voluntary,” ungkap Jazuli, saat dihubungi Republika, Ahad (9/12).
Panja RUU Halal disebutnya mengharapkan sertifikasi halal berlaku untuk semua produk, tidak hanya terbatas pada makanan. Produk industri obat-obatan, kosmetik, dan produk lainnya juga diwajibkan mendapatkan cap halal dan haram. Untuk realisasinya, DPR tetap akan bekerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Namun, salah satu permasalahan yang masih dibahas adalah keberadaan industri kecil dan menengah. Terutama mengenai pembiayaan sertifikasi.
“Kami sudah usulkan agar pembiayaan ditanggung pemerintah pusat dan daerah masing-masing,” jelas Jazuli. Oleh karena masih terdapat beberapa persoalan tersebut, pada awal Januari 2013 nanti, Panja RUU PJH, lanjutnya, akan kembali membahas dan meminta penjelasan pemerintah tentang keberatan mereka atas poin-poin yang telah dirumuskan DPR.
“Mudah-mudahan awal tahun sudah disahkan. Ini kan sebetulnya tinggal disahkan, opsi-opsinya sudah jelas,” kata dia.
Jazuli menegaskan tidak ada upaya diskriminasi dalam penetapan RUU Halal itu. Karena aturan itu berlaku sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang diakui di Indonesia merujuk UUD 1945.
Pembahasan RUU yang sudah berjalan lebih dari dua tahun itu dikatakannya bisa mengakomodir kepentingan dan kemaslahatan rakyat Indonesia. Agar produk-produk yang beredar dan dipakai masyarakat terjamin mutu, kesehatan, keamanan, dan jaminan halalnya.
Redaktur: A.Syalaby Ichsan
Reporter: Ira Sasmita