MENUJU PEMILU BERKUALITAS

0
267
Jazuli Juwaini
Anggota Komisi II DPR RI/FPKS
(Opini HU Republika, 28/06/2013)
Hiruk pikuk Pemilu 2014 sudah mulai terasa saat ini. Tahun 2013 disebut juga sebagai tahun politik. Awal tahun ini dibuka dengan beberapa penyelenggaraan Pilkada seperti di Jawa Barat, Sumatera Utara, terakhir beberapa waktu lalu di Jawa Tengah. Belum lagi pilkada-pilkada di tingkat kabupaten turut menambah keriuhan dinamika politik. Pilkada-pilkada yang telah, sedang dan akan berlangsung di 2013 ini menjadi semacam ajang untuk menguji kekuatan mesin partai sebelum berlaga di Pemilu 2014. Partai-partai politik mulai berhitung dengan hasil pilkada guna mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014, rakyat pun sudah mulai menimbang-nimbang partai mana yang akan dipilihnya kelak sembari berharap akan ada perubahan yang lebih baik di negeri ini.
Penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas merupakan suatu keniscayaan. Harapan rakyat akan perbaikan negeri ini akan dapat terwujud manakala pemilu 2014 dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat dan pemimpin negara yang mempunyai kompetensi, kapasitas dan akuntabilitas, mampu mensejahterakan rakyat serta aspiratif terhadap kepentingan-kepentingan bangsa dan Negara.  
Oleh karena itu seluruh elemen bangsa harus memastikan pemilu 2014 mendatang dapat mencapai hasil yang optimal sebagai bagian dari upaya konsolidasi demokrasi yang semakin kuat. Maka, perlu dicermati prasyarat pemilu yang berkualitas sebagai berikut. Pertama  pemilu diselenggarakan oleh KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas, kapabilitas dan akuntabilitas serta yang tak kalah penting independen.
Disebutkan dalam UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu bahwa penyelenggaraan pemilu yang berkualitas diperlukan sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KPU sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan pemilu, harus netral, non partisan dan mandiri dengan bersikap profesional dan independen. Kerja-kerja KPU akan diawasi banyak pihak, mulai dari tahapan persiapan hingga tahapan penyelesaian. KPU tidak hanya berurusan dengan parpol, tapi juga birokrasi pemerintah, Bawaslu, civil society, aktivis pemilu, dan kampus.
KPU dituntut mampu melaksanakan pemilu secara aman, damai, dan demokratis. Jika terjadi penyimpangan akan memicu konflik dalam masyarakat. Belajar daripengalaman Pemilu 2009, kinerja KPU dianggap mengecewakan, dan kemandiriannya dipertanyakan, sehingga DPR menggunakan hak interpelasi untuk menyelidiki banyaknya masyarakat yang tidak bisa memilih, lalu mengganti UU No.22/2007 dengan UU No.15/2011.
Anggota KPU diharapkan mampu menjaga integritas dan independensinya dalam menyelenggarakan pemilu, sehingga keputusan KPU dapat diterima dan memiliki legitimasi yang kuat. KPU juga harus bekerja berdasarkan undang-undang yang ada, tidak boleh KPU membuat aturan yang melebihi kewenangan yang diberikan undang-undang atau yang subtansinya melebihi aturan undang-undang. Hal ini untuk menjamin agar pemilu benar-benar konstitusional dan tidak menimbulkan kericuhan yang tidak perlu dalam implementasinya.
KPU sebagai Penyelenggara pemilu juga harus lebih gencar menyampaikan sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Hal ini sangat penting, dalam rangka menumbuhkan kesadaran dan memberikan pengetahuan masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dan berpartisipasi dalam pemilu.
Kedua, pemilu yang berkualitas ditandai dengan meningkatnya partisipasi publik, termasuk dalam tahapan-tahapannya. Pemilu 2014 harus dapat menghapuskan apatisme rakyat terhadap proses dan hasil pemilu. Hasil evaluasi atas pemilu menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu selalu menurun. Pemilu setelah reformasi mencatatkan angka gloput yang terus meningkat. Pada pemilu 1999 golputmencapai 10,4 persen dan meningkat pada pemilu 2004 sebesar 23,34 persen. Golput meningkat drastis pada pemilu legislatif tahun 2009 mencapai angka 29,01 persen. Artinya pada Pemilu 2009 partisipasi masyarakat hanya sekitar 71 persen.
Sehingga pemilu 2014 dibayangi oleh angka partisipasi yang rendah, sebaliknya angka golput yang tinggi. Bahkan, potensi golput pada 2014  dikhawatirkan semakin tinggi. Hal ini terindikasi berdasarkan hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Tanggal 1-12 Februari 2012 terhadap 2.050 responden dengan metode acak bertingkat. Hasil survei menyatakan bahwa lebih dari 50 persen responden berpotensi tidak akan memilih pada Pemilu 2014. Ini bisa menjadi early warning bagi semua pihak bahwa political turnout bisa menjadi ancaman demokrasi, apalagi jika pilihan untuk golput didasarkan pada kesadaran politik bahwa pemilu tidak berguna karena tidak ada kepercayaan pada proses dan hasil pemilu. 
Gejala di atas ditunjukkan dengan fenomena turunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu (KPU); ketidakpecayaan publik pada partai politik (parpol) maupun calon legislatif (caleg) yang diusung parpol juga; ketidakpercayaan pada legitimasi pemerintahan dan legislatif yang tidak bisa mengubah keadaan masyarakat.  Intinya manfaat pemilu tidak dirasakan oleh masyarakat. Pemilu dianggap hanya menjadi ajang perebutan dan kontesatsi kekuasaan, yang kemudian setelah berkuasa tidak memikirkan kepentingan rakyat. Rakyat hanya dilihat sebagai angka-angka pemenangan dari pemilu ke pemilu, usai pemilu diabaikan dalam proses-proses kebijakan. Ini sangat berbahaya karena apatisme rakyat atas lembga-lembaga demokrasi menjadi faktor penghambat terbesar bagi upaya  konsolidasi demokrasi. Jika kondisi ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin rakyat menginginkan kembali pada sistem sebelum reformasi.
Rakyat sudah apatis terhadap penyelenggara pemilu yang tidak independen, mudah dipengaruhi kekuatan politik tertentu. Masyarakat juga sudah muak dengan kasus-kasus korupsi yang menyebabkan merosotnya kredibilitas penyelenggara (lembaga-lembaga) negara.  sedikitnya aktor politik muda yang diharapkan membawa perubahan, dan kurang bermaknanya lembaga demokrasi formal dalam pemajuan dan pemenuhan hak-hak dasar warga menambah daftar panjang apatisme publik. Lemahnya kaderisasi partai politik juga ditengarai menjadi salah satu penyebab penurunan partisipasi pemilih.
Untuk itu, momentum pemilu juga membutuhkan sebuah pemaksimalan keterlibatan masyarakat. Tanpa adanya pemaksimalan pelibatan masyarakat, maka pemilu hanya akan menjadi instrumen formal dan indikator penilaian demorkasi saja, tanpa adanya substansi. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaran pemilu harus terus ditingkatkan.
Ketiga, pemilu berkualitas membutuhkan perbaikan pendataan pemilih. Tingginya angka golput dalam pemilu-pilkada, ternyata bukan hanya karena masyarakat tidak mau menggunakan hak pilihnya. Namun kekacauan dan ketidakberesan dalam pendataan pemilih membuat banyak masyarakat yang tidak mendapatkan kartu pemilih walaupun mempunyai hak untuk memilih. Pemberlakukan KTP elektronik (e-KTP) akan menghadapi ujian keberhasilan dalam pemilu 2014 yang akan datang. Oleh karena itu, menjelang pemilu ini, Pemerintah dituntut untuk mengefektifkan pelayanan dan pendataan penduduk berbasis e-KTP karena sampai kini masih banyak penduduk yang belum memperoleh e-KTP meski sudah terdaftar, dan bisa jadi masih banyak penduduk yang belum mendaftar e-KTP. 
Keempat, pemilu berkualitas menuntut penghapusan budaya politik transaksional. Harus ada upaya preventif dan represif dalam menekan money politic. Perilaku pemilih saat ini menurut sejumlah riset ditengarai sangat pragmatis materialistik, sebab rakyat sudah mempunyai steorotypebahwa semua elit dan partainya mempunyai kecenderungan yang sama. Berlaku baik ketika kampanye, namun ketika sudah terpilih meninggalkan rakyatnya. Relasi pemilih dengan politisi yang demikian sangat berbahaya dan meruntuhkan sendi-sendi demokrasi kita. Peran partai politik yang cenderung masih menjadikan calon yang diusung sebagai sumber uang mengakibatkan politik transaksional terus berlangsung. Kualitas caleg tidak dipertimbangkan, masyarakatpun menjadi terbiasa menerima uang dari caleg atau parpol.
Mata rantai politik transaksional bisa diputus dengan cara menonjolkan calon-calon berkualitas dalam pemilu legislatif, penjaringannya pun harus melalui proses yang demokratis. Masyarakat akan dengan sendirinya memberikan penilaian yang objektif terhadap calon tersebut. Sehingga, calon tidak perlu mengeluarkan uang untuk meyakinkan pemilihnya. Dan pemilu akan menghasilkan legislatif dan eksekutif yang memiliki legitimasi kuat dan berkualitas.
Kelima,  pemilu berkualitas mensyaratkan penyelenggaran pemilu sesuai dengan asas jujur, adil, tertib, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Penyelenggaraan adil dalam aturan main dan memberi kesempatan yang sama kepada semua pihak yang terlibat. Fairness competition penting ditegakkan karena demokrasi yang berkualitas hanya tumbuh dari cara-cara yang beradab dan berkeadilan. 
Pemilu 2014 merupakan momentum bagi rakyat Indonesia untuk membuka lembaran baru sejarah demokrasi Indonesia. Demi terlaksannya pemilu yang berkualitas, peningkatan kinerja penyelenggaraan pemilu harus diperbaiki dan ditingkatkan, bukan hanya terkait dengan kinerja teknis penyelenggaraan, namun juga dalam hal penumbuhan kesadaran tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu. Partai politik dan para calon memiliki andil besar dalam mewujudkan pemilu berkualitas dengan perilaku politik yang terpuji.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.