Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPR, Jazuli Juwaini mengatakan, garis haluan negara dibutuhkan Indonesia agar pembangunan berjalan berkesinambungan dan terarah. Sehingga pelaksanaan pembangunan tidak tumpang tindih dan tidak terkesan bongkar pasang.
“PKS dalam posisi mendukung atau menolak dihidupkannya GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) . Namun, kami memberikan ruang bagi para pakar berdiskusi bagaimana agar pembangunan di Indonesia tidak tumpang tindih dan bongkar pasang,” katanya disela-sela acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk“Relevankah GBHN Pasca-Reformasi” di Ruang Pleno Fraksi PKS DPR, Gedung Nusantara I, Jakarta, Kamis (3/3/2016).
Dia menjelaskan, setiap pemimpin memiliki visi misi dan kebijakan yang berbeda-beda, namun harus ada strategi agar kebijakannya berlangsung berkesinambungan. Namun, garis haluan tersebut bukan berarti harus berbentuk GBHN, tetapi bisa berwujud apapun.
Alasan munculnya wacana tentang pentingnya haluan negara juga harus didasari kepada keinginan pembangunan yang berkesinambungan. “Sebenarnya ada Undang-Undang tentang Rencana Pemerintah Jangka Panjang, Menengah, dan Pendek. Kalau bisa diefektifkan maka akan berjalan baik,” katanya.
Menurut Jazuli, PKS menyetujui adanya haluan negara agar cita-cita presiden tidak jauh dari ideologi negara. Tetapi, bukan dalam konteks menyetujui GBHN, melainkan hanya sebuah haluan negara supaya tidak dipersepsikan seolah-olah dirumuskan demi kepentingan kelompok tertentu.
“Bagaimana pembangunan konsisten tanpa membuang karakteristik visi misi presiden,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UII, Mahfud MD dalam diskusi itu menegaskan, konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia menganut paham bahwa pembangunan harus direncanakan melalui satu haluan yang dibuat negara.
Di mana pembangunan selalu diarahkan untuk mencapai tujuan negara dalam jangka panjang. “Kita tidak menganut paham linear yang membiarkan masyarakat berkembang sendiri tanpa arah yang ditentukan negara,” katanya.
Menurutnya, Indonesia sejak 1960 hingga sekarang sebenarnya memiliki perangkat hukum untuk haluan negara, namun nama resminya selalu berubah-ubah. Untuk itu, sambungnya, Indonesia tidak memerlukan pemberlakuan GBHN lagi karena sudah memilikinya. Namun, kalau nama itu dianggap memiliki sejarah yang perlu dipertahankan bisa saja dengan mengubah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang SPPN menjadi Undang-Undang tentang GBHN.
Sekadar diketahui, FGD dihadiri sejumlah narasumber, antara lain Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, perwakilan Bappenas, pengamat politik Yudi Latif, dan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UII Mahfud MD.