“Inilah sejarah rumusan dasar-dasar negara yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 yang sekaligus sedianya dijadikan sebagai teks komprehensif Proklamasi Kemerdekaan RI. Oleh Mr Muhammad Yamin kesepakatan itu disebut sebagai Piagam Jakarta dan menjadi konsensus kebangsaan yang sangat penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia,” kata Jazuli dalam siaran pers FPKS, Kamis (23/6/2016)
Dari Panitia Sembilan sendiri, lanjut Jazuli, terdapat representasi tokoh umat Islam, 3 orang di antaranya pernah bermukim di Timur Tengah yaitu Abdul Kahar Mudzakkir, tokoh Muhammadiyah, pernah mukim di Mesir; sementara Wahid Hasyim, tokoh NU dan Agus Salim pernah mukim di Makkah, Arab Saudi. Dua anggota lainnya, Abikusno Cokrosoejoso, adik HOS Cokroaminoto (Syarikat Islam), dan Mr Ahmad Subarjo (kemudian bergabung dengan Partai Masyumi). Ir Soekarno sendiri sejatinya pernah menjadi pengurus Muhammadiyah.
“Fraksi PKS DPR mengajak semua pihak memperingati peristiwa penting 22 Juni (Piagam Jakarta) sebagai bagian dari pengamalan sejarah yang tidak boleh dilupakan–sebagaimana diajarkan Bung Karno–dengan melakukan refleksi kebangsaan dan revitalisasi nilai-nilainya dalam dimenasi kekinian,” ungkapnya.
Anggota Komisi I ini lalu merinci apa saja nilai yang harus direvitalisasi itu. Pertama, rumusan dasar-dasar negara yang termaktub dalam konstitusi lahir dari rahim tokoh-tokoh Islam bersama tokoh lintas agama dan suku, maknanya kita harus menjaga kebersamaan, persatuan dan kesatuan, demi NKRI. Khusus bagi umat Islam mari kita tangkap semangat totalitas kontribusi tokoh-tokoh umat bagi kemerdekaan serta persatuan dan kesatuan NKRI.
Kedua, Indonesia harus dibangan dengan semangat nasionalisme yang relijius. “Saya menyebutnya “kebangsaan yang ber-Ketuhanan” bukan saja karena andil tokoh-tokoh Islam–yang tiga di antaranya pernah bermukim di negeri Islam berasal–sangat besar dalam pembentukan falsafah bernegara, lebih dari itu karena falsafah negara itu sendiri bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertamanya,” bebernya. Lalu ditegaskan pada Pasal 29 Ayat (1) UUD bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketiga, karena itu kita harus mengapresiasi dan bahkan mendorong lahirnya regulasi yang mencerminkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai moralitas, etika keberagamaan dan budaya, termasuk yang berangkat dari kearifan lokal masing-masing daerah (melalui perda-perda).
Keempat, kita harus menjaga marwah kebangsaan kita dari rongrongan asing baik melalui infiltrasi ideologi dan budaya yang menyimpangi karakter bangsa kita, maupun dalam bentuk penguasaan ekonomi negara dan juga penguasaan setiap jengkal kedaulatan negara. “Karena itu kita dukung penuh sikap Presiden Jokowi yang siap mempertahankan setiap jengkal tanah, air, dan udara kita termasuk dalam kasus Natuna,” tegasnya.
Kelima, Indonesia harus berpartisipasi aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan dan keselamatan bangsa-bangsa yang tertindas seperti di Palestina atau Rohingnya karena itu amanat Pancasila dan konstitusi. Terlebih karena sejarah kemerdekaan kita tidak lepas dari dukungan bangsa-bangsa lain, atas peran diplomasi, yang antara lain juga dimainkan oleh tokoh-tokoh Panitia Sembilan khusususnya yang bermukim di Timur Tengah. Maka tidak heran jika di antara negara dan bangsa yang pertama kali mengakui kedaulatan Indonesia adalah Mesir dan Palestina.
“Dengan momentum sejarah 22 Juni 1945 kita tingkatkan aktualisasi konsensus kebangsaan yang disepakati para Founding Fathers (Panitia Sembilan) yang disebut sebagai Piagam Jakarta yang juga adalah Pembukaan UUD 1945, yang dikuatkan keabsahannya oleh Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959, serta dalam proses amandemen kemarin disepakati untuk diterima penuh tanpa perubahan, yang dalam alinea terakhirnya menyebutkan tentang tujuan Indonesia Merdeka, serta dasar negara Pancasila,” pungkas Jazuli. (https://news.detik.com/berita/3240552/fpks-ingatkan-pentingnya-piagam-jakarta)