Setiap 22 Desember kita memperingati Hari Ibu. Peringatan ini kita pahami sebagai bentuk pengakuan sekaligus penghormatan terhadap peran dan arti penting ibu dalam membangun bangsa.
Tentu saja peringatan ini tidak boleh sekadar seremonial dan simbolisasi, tapi harus menjadi momentum untuk lebih membuka ruang bagi optimalisasi peran ibu sebagai pendidik utama (dan pertama) dalam ”sekolah” pertama yang bernama keluarga. Ibu merupakan jantung kehidupan karena setiap orang lahir dari rahim seorang ibu.
Secara hakiki rahim seorang ibu memberikan pelajaran yang luar biasa bagi seorang anak. Rahimnya tidak saja memberikan nutrisi yang menumbuhkan janin, tapi juga menghadirkan ikatan (bonding ) cinta dan kasih sayang pada diri anak. Ketika seorang anak lahir di dunia, cinta dan kasih sayang ibulah yang membesarkannya.
Cara ibu menyusui dan menyapih adalah pelajaran tentang menumbuhkan masa depan. Sementara cara ibu menggendong dan menatahnya berjalan adalah pelajaran tentang memeluk dan mewujudkan harapan. Dalam ajaran agama posisi dan kedudukan seorang ibu tak terbantahkan.
Bahkan disebutkan dalam sebuah Hadits Nabi bahwa keridaan Allah terletak pada keridaan orang tua. Ibu adalah orang tua yang utama karena dalam Hadits yang lain disebutkan bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu. Pun, Rasulullah SAW memuliakan seorang ibu tiga kali lebih besar dari seorang ayah.
Dalam sebuah Hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim disebutkan ”Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan berkata, alaihi wasallam dan berkata, Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbaktipertamakali?
Nabishalallaahu Nabi shalallaahu alaihi wasallam menjawab, alaihi wasallam menjawab, Ibumu!Ibumu! Dan, orang tersebut kembali bertanya, Dan, orang tersebut kembali bertanya, Kemudian siapa lagi?Kemudian siapa lagi? Nabi shalallaahu Nabi shalallaahu alaihi wasallam menjawab, alaihi wasallam menjawab, Ibumu!Ibumu!
Orang tersebut bertanya kembali, Orang tersebut bertanya kembali, Kemudian siapa lagi?Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab, Beliau menjawab, Ibumu. Ibumu. Orang tersebut bertanya kembali, Orang tersebut bertanya kembali, Kemudian siapa lagi, Kemudian siapa lagi, Nabi shalallahu Nabi shalallahu alaihi wasallam menjawab, alaihi wasallam menjawab, Kemudian ayahmu.”
Ibu dan Visi Kebangsaan
Melihat kedudukan strategis seorang ibu tersebut, sudah seharusnya upaya pemuliaan, penghormatan, serta pengakuan terhadap peran-peran ibu dalam mendidik generasi diafirmasi dalam kebijakankebijakan pemerintah dan negara. Negara harus menciptakan lingkungan yang kondusif bagi optimalisasi peran tersebut serta bagi pemuliaan dan penghormatan ibu sebagai jantung kehidupan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang dibangun di atas fondasi nilai dan karakter kemanusiaan yang hakiki dan nilai-karakter itu ditransformasikan sejak dini melalui peranperan pengasuhan seorang ibu dalam sekolah keluarga. Bukan saja membangun bangsa, seorang ibu sejatinya juga mencetak pemimpin bangsa yang unggul melalui pendidikan kepribadian yang ditanamkan sejak dini. Ahli psikologi menyatakan bahwa seorang manusia melewati masa-masa perkembangan kemampuan dan internalisasi nilai-karakter sepanjang hidupnya.
Usia emas (the golden age ) manusia itu ada pada masa anak-anak (khususnya fase usia 0-4 tahun) karena kecerdasannya terbangun 50% dari total kecerdasan yang akan dicapai pada usia 18 tahun. Jadi, by scientific masa tersebut sangat menentukan tumbuh kembangnya sebagai generasi yang akan mengisi masa depan bangsa ini. Fase tersebut ada dalam peran pengasuhan seorang ibu (bersama ayah tentu saja).
Jika kita menyadari bukti ilmiah (scientific evidence ) tersebut dikaitkan dengan upaya membangun kebangsaan yang berkarakter, sudah semestinya kita memfokuskan energi dan kebijakan negara pada upaya optimalisasi peran ibu (orang tua) sebagai pendidik generasi. Artinya, harus ada keberpihakan negara untuk melindungi dan mempromosikan peran ibu dan keluarga, dan itu dituangkan dalam kebijakan yang konkret dan bersifat masif menjadi sebuah gerakan kolektif.
Realitas hari ini bangsa kita menghadapi tantangan (sekaligus ancaman) nilai-karakter yang pada gilirannya akan mengoyak identitas kita sebagai sebuah bangsa. Masifnya budaya liberal telah menggeser sendi-sendi kehidupan sosial, bahkan negara. Masyarakat menjadi permisif, abai pada nilai-nilai luhur, yang berekses luas pada maraknya pergaulan bebas, kelahiran di luar nikah, aborsi, pornografi dan pornoaksi, narkoba, dan berbagai penyakit sosial lainnya seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kemampuan keluarga untuk mentransformasi nilai-nilai luhur dan karakter kebangsaan nyatanya kalah cepat dengan masifnya budaya yang merusaknya. Hal ini harus menjadi peringatan keras bagi para pemimpin dan guru bangsa bahwa jika kita tidak mampu menghadirkan solusi yang efektif, akan menjadi ancaman serius bagi visi kebangsaan kita ke depan. Solusi itu ada pada revitalisasi peran ibu dan keluarga.
Tawaran Kebijakan
Bagaimana model kebijakan negara yang mempromosikan optimalisasi peran ibu/orang tua/keluarga dalam mewujudkan generasi yang berkarakter? Bagi penulis, hal itu dapat dilakukan jika negara fokus dan berpihak pada upaya untuk memperkuat ketahanan keluarga. Secara elementer ketahanan keluarga menempatkan ibu (orang tua) sebagai pendidik dan pengasuh utama bagi anakanaknya.
Konsep ini akan memanggil setiap ibu Indonesia untuk kembali dan mengambil peran tanggung jawab penuh atas pengasuhan anak-anak mereka. Artinya, para ibu dan orang tua harus mengikuti, mendampingi, mengupayakan, dan tidak bisa abai pada perkembangan anak-anak mereka. Konsepsi tersebut secara tegas merupakan upaya mengarusutamakan keluarga (family mainstreaming ) dalam kehidupan, yang secara implementatif membutuhkan transformasi kebijakan negara terhadap dunia pendidikan secara luas.
Tanggung jawab pendidikan anak tidak bisa lagi dilepas begitu saja pada institusi pendidikan formal tanpa melibatkan orang tua. Sebaliknya, orang tua diberikan ruang dan peran-peran yang optimal dalam mengetahui, mendampingi, serta mengupayakan peningkatan dan perkembangan pendidikan anak-anak mereka.
Konsepsi ini juga membutuhkan lingkungan yang kondusif bagi terlaksananya peran-peran orang tua, khususnya ibu, secara optimal. Antara lain diwujudkan dengan pemberian hak cuti hamil dan menyusui bagi ibu bekerja yang memadai untuk memberikan hak-hak anak di masamasa golden age mereka.
Perusahaan atau kantor ibu bekerja juga harus terus didorong untuk menciptakan lingkungan yang kondusif agar ikatan (bonding ) antara ibu dan anakanak mereka tetap terjaga antara lain dengan mengupayakan tempat pengasuhan anak (day care ) di lingkungan perusahaan/ kantor mereka.
Terakhir, secara luas negara harus terus hadir mengampanyekan family mainstreaming ini dengan menyosialisasikan dan memberikan bekal pengetahuan dan wawasan kepada para ibu (dan calon ibu) tentang pentingnya pengasuhan dan pendidikan anak-anak.
Argumentasinya sederhana: negara harus menjamin terwujudnya generasi bangsa yang berkarakter, dan itu lahir dari ibu yang memahami dan melaksanakan peran sebagai pendidik dan pengasuh utama generasi. Semoga keberpihakan negara ini ke depan akan menjadi kado indah bagi ibu Indonesia. Selamat Hari Ibu!
JAZULI JUWAINI
Ketua Fraksi PKS DPR RI