Jazulijuwaini.com–Seiring dengan momentum HUT Kemerdekaan RI yang ke-72 muncul sejumlah pertanyaan retoris yang menggugah rasa kebangsaan kita. Di antara pertanyaan itu seperti: Indonesia punya siapa? Siapa yang harus menjaga Indonesia? Siapa yang semestinya mewarisi Indonesia?
Dalam kacamata yang positif pertanyaan di atas sesungguhnya mengingatkan kita akan pentingnya makna keindonesiaan. Pertanyaan ini menjadi positif jika diarahkan pada upaya kolektif seluruh warga bangsa untuk mengambil peran dan bertanggung jawab atas masa depan Indonesia. Sebaliknya, pertanyaan ini menjadi negatif jika dibarengi klaim-klaim sepihak atas keindonesiaan sambari mendeskreditkan (menyerang atau menuduh) pihak-pihak lainnya tidak Indonesia atau kurang kadar keindonesiaannya.
Momentum peringatan HUT RI kali ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menegaskan komitmen bahwa “Indonesia adalah milik kita bersama” yang harus kita jaga sepenuh hati dan segenap jiwa. Ini adalah momentum yang tepat bagi kita untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan.
Komitmen ini juga menegaskan bahwa tidak ada–dan tidak boleh ada–pihak-pihak yang merasa atau mengklaim dirinya paling Indonesia sambil menuduh pihak-pihak lainnya (sesama warga bangsa) sebagai pihak yang rendah kadar ke-Indonesia-annya. Klaim-klaim semacam ini justru merusak dan membahayakan masa depan Indonesia.
Konsensus Indonesia Merdeka
Indonesia lahir sebagai negara bangsa yang merdeka didasarkan atas konsensus kebangsaan. Konsensus ini dibangun karena pendiri bangsa menyadari bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragam dengan tingkat heterogenitas yang sangat tinggi, baik latar belakang suku, daerah, apalagi sekedar perbedaan pendapat di dalam menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan realitas tersebut promosi atas persatuan, kesatuan, kebersamaan, gotong royong, saling menghormati dan menghargai perbedaan merupakan suatu yang niscaya pakan semacam conditio sinne qua non bagi bangsa ini. Oleh karena itu kita akan menemukan di dalam falsafah bernegara Pancasila khususnya sila ke-4 satu tradisi komunal bangsa Indonesia yang disebut sebagai tradisi permusyawaratan.
Tradisi ini menegaskan bahwa segala perbedaan pendapat semestinya diselesaikan secara dialogis persuasif dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Sebaliknya, tradisi ini menafikan–untuk tidak mengatakan: tidak mengenal–pendekatan yang agresif dan represif terhadap perbedaan diantara sesama warga bangsa.
Mengokohkan Kebersamaan
Tradisi permusyawaratan inilah yang kemudian menegaskan jati diri bangsa Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan. Tradisi ini menempatkan setiap warga bangsa pada posisi yang setara dan terbuka bagi mereka untuk mengambil peran dan kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tradisi ini juga mempromosikan kebersamaan diantara sesama warga bangsa, bukan persaingan apalagi persaingan bebas ( free faight ).
Karakter kebersamaan itu menjadikan bangsa Indonesia (seharusnya) mudah bekerja sama (kooperasi) dan bersinergi daripada bersaing (kompetisi). Kalaupun terjadi kompetisi, yang terjadi semestinya adalah berlomba-lomba dalam merawat Indonesia.
Hari-hari ini dan ke depan, tradisi kebersamaan ini menjadi semakin penting dan urgen karena kita menghadapi masalah dan tantangan kebangsaan yang semakin sulit yang berkelindan dengan eksternalitas ekses dan masifitas arus globalisasi yang semakin kuat.
Nilai-nilai kebangsaan yang tercantum atau terkandung di dalam dasar negara maupun konstitusi menjadi tidak mudah lagi untuk direalisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sini kita harus mengakui dengan jujur bahwa aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai karakter bangsa masih “jauh panggang daripada api”. Pancasila belum sepenuhnya dijiwai oleh bangsa Indonesia–untuk tidak mengatakan banyak yang disimpangi nilai-nilainya.
Indonesia adalah bangsa yang religious ( religious state ). Apapun agamanya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Indonesia juga bangsa yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Tapi, realitasnya kita menyaksikan perilaku yang banyak menyimpangi bahkan merendahkan nilai ajaran agama dan kemanusiaan. Budaya kita makin liberal dan kebablasan menyebabkan banyak perilaku amoral (prevalensi narkoba, pornografi, seks bebas, LGBT, dll).
Sila ketiga jelas memuat pesan persatuan bangsa. Meski banyak perbedaan tapi kita disatukan oleh tujuan yang sama. Meski berbeda, tetapi selalu ada benang merah yang menyatukan kita. Seperti itulah filosofi dari Bhineka Tunggal Ika. Namun, ralitasnya bangsa kita menghadapi ancaman persatuan dan kesatuan di tengah maraknya sikap merasa paling benar sendiri yang berkelindan dengan kecenderungan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Bangsa kita mudah disulut amarah, mudah diadu domba di antara elemen bangsa.
Sila keempat menegaskan ciri khas demokrasi Indonesia yaitu Demokrasi yang menekankan permusyawaratan. Tapi, realitasnya demokrasi kita berada pada langgam yang terlampau liberal ala demokrasi barat. Praktik politik acapkali dikendalikan syahwat kepentingan pribadi dan atau golongan, saling adekuat, berpikir pendek dan sesaat, serta praktik ‘pencari rente’ ( rent seeking ). Elit politik belum dapat menunjukkan teladan etik dan negarawan, pelembagaan demokrasi masih harus menempuh jalan yang panjang.
Terakhir, kita dipersatukan dengan cita-cita dan impian untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di manapun kita berada, baik di Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa, atau lainnya, kita dipersatukan dengan impian masyarakat yang adil makmur, tentram raharja. Dalam kenyataannya, kita belum dapat menerjemahkan dalam praksis amanat sila kelima ini, termasuk silapnya menjabarkan praksis Pasal 33 Konstitusi Negara yang menyatakan ‘Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Disparitas ekonomi antara si kaya dan si miskin yang masih tajam, kesejahteraan belum merata dan berkeadilan, ekonomi lesu, daya beli menurun, rakyat susah.
Realitas problematika kebangsaan yang demikian seharusnya mendorong kita untuk semakin menguatkan kebersamaan, kerjasama, dan sinergi dalam mengatasinya. Sangat tidak tepat jika kita mengedepankan ego dan kepentingan masing-masing sambil melakukan alienasi terhadap sesama warga bangsa lainnya.
Indonesia terlalu besar untuk dikelola sendirian. Ia membutuhkan kerja kolektif seluruh warga bangsa. Karenanya, pendekatan yang “hitam putih” atau “oposisi biner” sangat tidak tepat dan tidak relevan dengan kondisi keberagaman bangsa Indonesia. Klaim-klaim kebenaran mutlak/ekstrem: merasa paling benar, sementara yang lain salah; merasa paling nasionalis, sementara yang lain dituduh anti-NKRI; merasa paling pancasilais, sementara menuduh yang lain antipancasila jelas bukan sikap yang tepat bahkan merusak (destruktif).
Pancasila Ideologi Pemersatu
Proklamator kita, Bung Karno, secara tegas mengatakan bahwa Pancasila sejatinya adalah ideologi pemersatu. Untuk itu, tidak ada yang boleh ada warga bangsa yang mengklaim dirinya atau kelompoknya paling Pancasilais. Bahkan, sikap seperti itu disindir secara keras oleh Bung Karno sebagai orang-orang yang hanya pandai meng-kecap-kan Pancasila. Pancasila hanya menjadi alat jualan (atau kedok) untuk memuluskan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Bagaimana agar Pancasila menjadi ideologi pemersatu bangsa? Jadikanlah Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dimana seluruh warga bangsa terbuka untuk mengaktualisasikan aspirasinya sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri. Dengan demikian seluruh warga bangsa (tanpa kecuali) merasa memiliki Pancasila. Insan beragama, para ulama, para santri akan bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran agama secara konsekuen sebagai perintah Allah dan hal itu karena senafas dan sejalan dengan sila pertama Pancasila. Pejuang keadilan merasa memiliki dasar kuat untuk bersikap kritis dalam menuntut keadilan karena memang itulah nilai utama sila kedua dan kelima, dan seterusnya.
Dengan begitu, kita akan semakin asertif dalam relasi sosial bermasyarakat dan semakin objektif dalam menempatkan peran kontribusi sesama warga bangsa Indonesia. Kita akan memandang satu kelompok dengan kelompok lainnya di dalam negara ini adalah entitas yang sama-sama bekerja dan berkontribusi untuk kemajuan Indonesia. Dus, kerjasama, kolaborasi, atau koalisi-dalam terminologi politik–diantara elemen bangsa menjadi satu hal yang niscaya. Sebaliknya, kritisi dan perbedaan pendapat atau cara pandang atas kebijakan negara menjadi hal yang biasa saja dan direspon secara konstriktif sebagai bentuk kecintaan kepada negara ini.
Dengan cara pandang tersebut seluruh bangsa Indonesia akan berlomba-lomba untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa harus merasa dipinggirkan atau dimarjinalkan oleh negara atau sesama warga bangsa lainnya. Inilah sejatinya makna dari Pancasila sebagai ideologi pemersatu. Dan, kita secara tegas mengatakan bahwa Indonesia adalah milik kita bersama. (Dimuat di Koran Sindo, edisi 19 Agustus 2017)