Jazuli Juwaini, MA
Anggota Komisi II DPR RI/FPKS
Opini Koran Republika (Sabtu, 7 September 2013)
Sebentar lagi kita memasuki tahun pemilu sebagai sarana transisi dan sirkulasi kepemimpinan nasional. Satu tahun dari sekarang, jika Allah mengijinkan, bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin baru yang akan menakhodai republik sampai 2019. Pemilu yang akan datang, sebagaimana pemilu-pemilu pasca reformasi, adalah momentum perbaikan negeri melalui etalase demokrasi. Tentu saja menjadikan demokrasi bekerja bagi peningkatan kesejahteraan dan pemerataan keadilan menjadi tujuan penting bagi setiap pemerintahan hasil pemilu. Kepemimpinan pasca 2014 sangat strategis karena menjadi ajang pematangan demokrasi (consolidated democracy) sejak reformasi tahun 1998.
Samuel Huntington (1991) serta Guillermo o’Donnel dan Phillip Schmitter (1993) menengarai butuh tiga tahap – pratransisi, liberalisasi politik awal, transisi – sebelum demokrasi dapat terkonsolidasi dengan baik. Hal ini berdasarkan pengalaman di negara-negara Dunia Ketiga. Tahap konsolidasi ini ditandai dengan tampilnya orang-orang baru yang bersih dalam pemerintahan, amandemen konstitusi, partai politik, dan parlemen yang bekerja relatif demokratis. Selain itu, pemilu berikutnya terselenggara secara demokratis, sehingga menghasilkan pemerintahan yang basis legitimasinya makin kukuh. Tahap ini biasanya berlangsung lama karena harus menghasilkan pembenahan pola pikir (paradigma) dan perilaku menyimpang masyarakat.
Penulis memaknai konsolidasi demokrasi sebagai proses mewujudkan demokrasi yang lebih bermakna. Demokrasi bermakna adalah demokrasi yang bekerja (working democracy) untuk memenuhi keinginan dan aspirasi rakyat sebagai pemilik kekuasaan. Rakyat tentu saja menginginkan perwujudan kesejahteraan dan keadilan dalam kehidupan mereka.
Logika demokrasi adalah logika partisipasi aktif rakyat. Terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society, baik dalam proses perumusan kebijakan (dececion making), maupun pada tahap implementasinya (policy implementation). Segala keputusan yang diambil oleh negara, secara prinsipal, merupakan persenyawaan antara tuntutan masyarakat (society) dan kepentingan pihak state itu sendiri. Jadi, kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas menjatuhkan ‘palu’ akhir atas berbagai keputusan, namun perannya dalam pengambilan keputusan itu lebih sebagai mediator atas kompleksitas kepentingan dari kalangan masyarakat. Inilah hakikat demokrasi yang bermakna.
Posisi Birokrasi dalam Konsolidasi Demokrasi
Alat negara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat adalah birokrasi. Jika pemilu menghasilkan kepemimpinan yang legitimate, maka pemimpin terpilih membentuk pemerintahan yang kebijakan politiknya akan mewarnai corak dan kinerja birokrasi. Lazimnya pemerintahan terpilih meletakkan birokrasi di atas kepentingan politiknya dan mendorong terwujudnya birokrasi yang melayani sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan cara pandang tersebut demokrasi akan meretas jalan menuju kebermaknaan.
Lembaga-lembaga internasional dan para pakar pemerintahan merumuskan konsepsi tentang (birokrasi) pemerintahan dalam dua kategori: good governance dan bad governance. UNDP menetapkan sembilan prinsip good governance, yaitu: partisipasi, ketaatan hukum (rule of law), transparansi, responsif, berorientasi konsensus, kesetaraan (equity), efektif dan efisien, akuntabilitas, dan visi strategis. Bank Dunia menyederhanakan prinsip good governance menjadi empat, yaitu: akuntabilitas, partisipasi, rule of law, dan transparansi. Birokrasi pemerintahan yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip tersebut dengan sendirinya masuk dalam kategori bad governance.
Dimana letak Indonesia dalam parameter good governance? Harus kita akui Indonesia belum masuk dalam kategori good governance. Namun upaya-upaya menuju good governance yang semakin nyata terus dilakukan oleh Pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformai Birokrasi telah mencanangkan agenda aksi reformasi birokrasi dengan mengetengahkan perubahan paradigma birokrasi mulai dari sistem perekrutan calon pegawai negeri sipil, sistem promosi dan mutasi pegawai, hingga sistem pendidikan dan pelatihan yang lebih profesional. Meski harus diakui, bagus di tataran konseptual, belum tentu bagus pula dalam implementasinya. Oleh karena itu, Pemerintah harus tetap menjamin implementasi reformasi birokrasi sejalan dengan konsepnya yang sudah menuju perbaikan dimaksud.
Percepatan Reformasi Birokrasi Untuk Konsolidasi Birokrasi
Pemerintah dituntut untuk melakukan upaya percepatan reformasi birokrasi dengan kesadaran penuh bahwa ikhtiar tersebut merupakan conditio sine qua non bagi keberhasilan konsolidasi demokrasi. Semakin kuat dan berkualitas birokrasi, dengan dukungan SDM yang semakin profesional, akan menghasilkan demokrasi yang semakin matang. Asumsinya, meski kepemimpinan nasional maupun daerah silih berganti, birokrasi (pemerintah) tetap berjalan sesuai tujuaannya yakni untuk mensejahterakan rakyatnya. Apa saja langkah-langkah percepatan reformasi birokrasi?
Pertama, budaya melayani, bukan dilayani. Warisan sejarah yang feodalistik baik semasa penjajahan Belanda muapun warisan rezim orde baru memang membentuk karakter birokrasi yang berorientasi ke atas atau melayani atasan. Budaya ini harus dikikis dengan budaya baru birokrasi pelayanan. Di negara-negara maju para pegawai pemerintahan disebut sebagai civil servant atau pelayanan masyarakat. Sementara di kita, masih kuat persepsi pegawai sebagai abdi negara yang cenderung menyimpang dalam praktek sebagai abdi penguasa. Istilah pejabat publik semestinya juga harus direvisi dengan pelayanan masyarakat sebagaimana dalam Islam, khalifah sering disebut sebagai qodimatul ummah.
Kedua, proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, dan remunerasi yang professional berdasarkan meritokrasi (merit system) atau keahlian. Birokrasi bukan perusahaan keluarga yang sistem kerja, pengelolaan keuangan, rekrutmen pegawai, dan promosi jabatan bisa berdasarkan kedekatan dan afiliasi keluarga atau keturunan. Birokrasi adalah institusi pemerintah yang harus dijaga dan terjaga netralitasnya dari kepentingan parsial maupun kepentingan politik manapun. Kepentingan birokrasi hanyalah pelayanan optimal terhadap warga negara. Sehingga pelanggaran fatal jika proses birokrasi diintervensi oleh kepentingan politik pegawai atau pejabat publik, baik dalam proses rekrutmen, pendidikan, promosi, evaluasi, maupun remunerasi .
Ketiga, pengembangan sistem akuntabilitas. Prinsip good governance yang terpenting adalah akuntabiltas karena akuntabilitas dengan kandungan maknanya mencakup prinsip lainnya khususnya transparansi. Akuntabilitas birokrasi meliputi kinerja pelayanan, keuangan, dan administrasi. Malpraktek birokrasi sering terjadi karena sistem akuntabilitas yang tidak berjalan. Rumusnya sederhana: kewenangan tanpa akuntabilitas akan menghasilkan korupsi.
Keempat, untuk menegakkan prinsip akuntabilitas maka diperlukan satu sistem pengawasan. Melalui pengawasan, akuntabilitas efektif bisa ditegakkan. Dalam konteks ini pengawasan bisa dilakukan oleh beberapa pilar: pengawasan internal (inspektorat), pengawasan eksternal (penegak hukum, lembaga auditor, ombudsmen), dan pengawasan media massa dan opini publik. Birokrasi yang sehat harus memberikan keleluasaan kepada tiga pilar tersebut untuk turut serta secara aktif dalam menegakkan akuntabilitas birokrasi.
Kelima, keempat hal di atas harus ditopang oleh suatu sistem regulasi (perundang-undangan) komprehensif dan sinergis dari pusat hingga daerah yang mementingkan dimensi pelayanan publik. Sejumlah daerah kabupaten/kota telah melakukan terobosan dengan menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pelayanan Publik, sebut saja di Yogja, Sragen, Malang. Perda tersebut berisi standar pelayanan publik dan kontrak pelayanan antara pemda setempat dengan masyarakat. Terobosan semacam ini harus kita apresiasi dan harus dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain. Kita juga telah memiliki UU tentang Pelayanan Publik sejak tahun 2006. Pemerintah dituntut untuk serius melaksanakan UU tersebut. Saat ini DPR bersama Pemerintah juga sedang membahas RUU tentang Aparatur Sipil Negara. Lahirnya berbagai regulasi reformasi birokrasi ini diharapkan dapat memperbaiki kualitas SDM birokrasi serta penyelenggaraan layanan kepada masyarakat. Dengan sistem regulasi yang komprehensif dan sinergis diharapkan reformasi birokrasi memiliki pijakan yang kuat.
Terakhir, mengingat warisan kultur feodal yang masih kuat, pelayanan publik yang masih lamban, praktek suap dan korupsi yang masih menggurita dalam birokrasi kita maka langkah-langkah shock therapy perlu digalakkan. Langkah ini, antara lain, tengah dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menyingkap kasus-kasus korupsi birokrasi dan menjebloskan ke penjara para pejabat publik yang korup. KPK perlu lebih agresif bukan hanya pada aspek penindakan, namun juga pada aspek pencegahan sehingga segala potensi korupsi dapat dicegah secara efektif.