Terorisme, yang dalam satu dekade terakhir menjadi perhatian dunia, bukan hanya merupakan musuh negara, tetapi juga musuh seluruh rakyat Indonesia, musuh kemanusiaan, yang harus diselesaikan secara komprehensif dan tuntas.
Terorisme juga tidak punya ideologi, apalagi dikaitkan dengan agama. Sehingga siapapun, termasuk negara, tidak boleh mengaitkan tindakan terorisme kepada agama tertentu, terlebih agama Islam. Stigmatisasi terorisme terhadap agama tertentu, apalagi terhadap Islam, adalah bentuk teror itu sendiri.
Pesan tersebut disampaikan Ketua Faksi PKS Jazuli Juwaini dalam menyambut seminar bertema: “Terorisme dalam Perspektif NKRI” yang diselenggarakan FPKS DPR di Senayan, Rabu (21/4/2016).
Menurut Jazuli, tema yang diusung tentang terorisme tersebut memiliki makna yang penting dan urgen karena merupakan ancaman nyata bagi kebangsaan kita.
“Oleh karena itu, langkah-langkah pencegahan maupun penindakan harus diupayakan secara efektif dan komprehensif; tuntas menyelesaikan masalah dan tidak menimbulkan ekses yang negatif atau kontraproduktif,” ujarnya.
Salah satu maksud diselenggarakannya seminar ini, kata Jazuli, adalah menjadi menjadi sarana bagi FPKS untuk menjaring masukan atas materi revisi UU tentang Terorisme yang merupakan inisiatif pemerintah untuk diagendakan dalam Prolegnas 2016.
Tujuan revisi dalam perspektif FPKS, katanya, agar pemberantasan terorisme makin efektif, komprehensif, dan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.
“Ideologi terorisme itu antikemapanan dan membuat kekacauan. Sebaliknya agama mengajarkan rahmat dan kedamaian. Karena itu FKS mendukung penuh aparat penegak hukum untuk meberantas terorisme secara efektif”
Jazuli menyatakan bahwa metode dan cara penindakan atas pelaku tindak terorisme harus tepat. Sebaliknya, penindakan bukan justru menimbulkan rangkaian kekerasan dan terorisme berikutnya.
Pengabaian prinsip-prinsip hukum dan HAM dalam memberantas terorisme, menurutnya, justru melemahkan aparat dan sistem antiterorisme akibat ketidakpercayaan publik (distrust). “Terlebih lagi jika aparat terlalu overacting, atau bahkan abuse of power dalam memberantas terorisme, antipati publik akan semakin kuat,” ucap kandidat doktor bidang manajemen sumber daya manusia ini.
Selain itu, pihaknya meminta aparat untuk melakukan kajian mendalam terkait faktor pemicu terorisme sehingga efektif dalam upaya pencegahan dan deradikalisasi.
“Bisa jadi pemicunya kompleks menyangkut masalah sosial, ekonomi, dan juga ketidakadilan. Itu semua harus jadi bagian dari rumusan solusi. Jangan fokus hanya pada penindakan semata. Dengan demikian, sangat penting strategi komprehensif berantas terorisme dan radikalisme dengan pendidikan, pencerdasan publik, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain”, jelasnya.
Maka kolaborasi peran pemerintah, aparat, pendidik, ulama, lembaga-lembaga sosial/LSM, pelaku usaha, dan lain-lain sangat penting untuk menjadi bagian dari aktor kontraterorisme dan deradikalisasi
Dia berharap, penanganan tindak pidana terorisme tidak sekadar menonjolkan kekerasan, represi, apalagi kesan festivalisasi. Alih-alih memberantas terorisme dan radikalisme, dikhawatirkan hal ini justru memicu kebencian dan radikalisme baru “Tidak bisa juga diklaim bahwa memberantas terorisme dan radikalisme hanya bisa dilakukan oleh instansi tertentu dan satu cara saja”.
Untuk itu, dibutuhkan strategi dan solusi komprehensif yang melibatkan seluruh komponen negara. “Kita semua berharap terorisme dan radikalisme dapat dituntaskan dan tidak lagi menjadi ancaman kebangsaan agar kita fokus membangun dan mewujudkan kesejahteraan rakyat membangun indonesia bermartabat adil dan sejahtera,” pungkasnya. (Mroji/foto: Jibi/Solopos)